Jumat, 22 Oktober 2010

Ciri-ciri Playgirl Sejati

http://www.ai-candy.com/images/PLAYGIRL_01.jpg
Menyimpan Kisah One Night Stand
Tidak hanya satu, tapi lebih. One night stand tidak berarti berakhir dengan seks belaka. Sedikit kontak fisik sudah menjawab seberapa kedekatan Kamu dengan cowok yang Kamu kagumi, tapi bukan untuk jangka panjang.

Status Facebook Sering Berubah
Mulai dari “lajang”, “berpacaran”, lalu pindah menjadi “complicated”. Ini menandakan Kamu seperti mencari cowok untuk kesenangan saja. Sekalipun Kamu mencoba mencari yang terbaik, tapi dimata cowok, Kamu seorang man eater.

Berkencan Dengan Dua Cowok Dalam Satu Kelompok
Misalnya Kamu pernah berkencan dengan cowok dalam satu tim sepak bola, lalu di waktu lain Kamu berkencan dengan rekan satu timnya. Secara tidak sadar hampir setengah jumlah tim tersebut pernah dekat dengan Kamu. Benar-benar pecinta lelaki.

Mudah Memberi Nomor Telepon
Kamu sudah punya kekasih tapi cowok dengan mudah mendapat nomor telepon langsung dari Kamu. Hati-hati, karena ini tandanya Kamu masih memberi celah untuk menarik perhatian cowok lain, atau berselingkuh.

Mudah Meninggalkan
Senang mempermainkan perasaan seseorang bisa menjadi ukuran. Bayangkan saat hubungan sedang hangat, tiba-tiba Kamu pergi tanpa kabar hanya untuk menegaskan “Siapa bos-nya”. Jika Kamu sudah sampai tahap ini, Kamu betul-betul playgirl sejati.

Tidak Pernah Cukup
Cowok membutuhkan usaha ekstra besar untuk mendekati Kamu, dan itu tidak pernah cukup. Sekali Kamu tidak puas, Kamu pergi.

Wanita Memang Susah Ditebak

WANITA MEMANG SUSAH DITEBAK

Jika dikatakan cantik dikira menggoda, jika dibilang jelek di sangka menghina.

Bila dibilang lemah dia protes, bila dibilang perkasa dia nangis.

Maunya emansipasi, tapi disuruh benerin genteng, nolak (sambil ngomel "masa disamakan dengan cowok?").

Maunya emansipasi, tapi disuruh berdiri di bis malah cemberut (sambil ngomel, "egois amat sih cowok ini tidak punya perasaan!")

Jika di tanyakan siapa yang paling dibanggakan, kebanyakan bilang Ibunya, tapi kenapa yah lebih bangga jadi wanita karir, padahal ibunya adalah ibu rumah tangga.

Bila kesalahannya diingatkankan, mukanya merah..

Bila di ajari mukanya merah..

Bila di sanjung mukanya merah,

jika marah mukanya merah, kok sama semua?

Bingung !!

Ditanya ya atau tidak, jawabnya: diam,

ditanya tidak atau ya, jawabnya: diam,

ditanya ya atau ya, jawabnya: diam,

ditanya tidak atau tidak, jawabnya: diam,

ketika didiamkan malah marah (repot kita disuruh jadi dukun yang bisa nebak jawabannya).

Di bilang ceriwis marah,

dibilang berisik ngambek,

dibilang banyak mulut tersinggung,

tapi kalau dibilang S u p e l wadow seneng banget..

padahal sama saja maksudnya.

Dibilang gemuk, enggak senang padahal maksud kita sehat gitu lho,

dibilang kurus malah senang padahal maksud kita "kenapa loe jadi begini??!!!"

Alasan Mengapa Pria Pria Lebih Genit pada Wanita Berbaju Merah

Merah sering diasosiasikan dengan sifat berani. Namun tidak semua orang berani memakai pakaian berwarna merah, karena warna yang membara ini membuat orang lebih cepat memperhatikan Anda.

http://www.metrotvnews.com/image.php?image=bank_images/actual/22215.jpg

Namun memang inilah kunci untuk membuat pria tertarik pada Anda. Menurut penelitian, perempuan berpakaian merah tak hanya terlihat lebih menarik, tetapi juga membuat pria di sekitarnya menjadi lebih perhatian, lebih genit, dan ingin mengenal Anda lebih jauh.

Kesimpulan ini didapatkan setelah para peneliti menunjukkan foto perempuan yang wajahnya lumayan menarik, dengan atasan berwarna merah, kepada sekelompok mahasiswa. Kelompok yang lain ditunjukkan foto perempuan tersebut mengenakan baju biru. Para responden kemudian ditanya, jika bertemu perempuan itu, pertanyaan apa yang ingin mereka ajukan.


Ternyata, mereka yang ditunjukkan foto saat perempuan itu memakai baju merah, cenderung memilih pertanyaan yang lebih menggoda, demikian dilaporkan
The European Journal of Social Psychology.

Dalam pengujian kedua, para pria ditunjukkan foto-foto, dan diberi kesempatan untuk berbicara dengan perempuan di dalam foto ketika mereka berada di ruangan pribadi. Masing-masing pria diminta untuk mengambil satu dari dua kursi, dan duduk di hadapan perempuan itu bila ia datang. Pria yang telah melihat foto dimana perempuan itu mengenakan pakaian merah, ternyata meletakkan kursinya lebih dekat ke kursi dimana perempuan itu diperkirakan akan duduk. Dengan kata lain, para pria itu ingin mendekat lebih jauh.

Para peneliti meyakini bahwa fenomena ini berakar dari evolusi, dimana merah menunjukkan peluang untuk mencari pasangan. Dalam dunia hewan, merah seringkali merupakan sinyal bahwa si betina berada dalam kondisi paling subur. Contohnya, babon dan simpanse betina memerah dengan jelas ketika mendekati masa ovulasi.

Karena itu, Niesta Kayser, peneliti dari University of Rochester di New York menyarankan kaum perempuan untuk mengenakan atasan atau gaun merah bila hendak berkencan dengan pria yang disukainya. "Perempuan juga lebih mungkin untuk berhasil dalam kencan
online, ketika mereka mengunggah foto mereka dalam pakaian merah," katanya.

Nah, meskipun Anda sudah berusaha maksimal dengan pakaian merah Anda, lebih baik Anda tetap berhati-hati. Jangan sampai Anda mengorbankan identitas Anda hanya demi mendapatkan pria. Anda tetap harus mengenal pria ini lebih jauh. Atau, kenakan saja pakaian merah ketika suami sedang berulang tahun. Dijamin dia bakal makin cinta!

7 Pertanyaan Penting Sebelum Menikah

7 Pertanyaan Penting Sebelum Menikah

Tak hanya perselingkuhan, kegagalan pernikahan juga bisa disebabkan pasangan suami istri tidak mau berbagi perasaan yang mengakibatkan kualitas hubungan makin menurun. Kebiasaan berbagi perasaan dan keinginan ini seharusnya sudah Anda dan pasangan jalani sebelum bersanding di pelaminan.
http://i27.tinypic.com/o8w80p.jpg

Bagi yang berencana menikah, sebaiknya Anda dan calon suami mempersiapkan diri dalam menghadapi berbagai hal. Termasuk saling mengungkapkan isi hati. Sebab, ketika memilih hidup dalam perkawinan, tantangannya jauh lebih besar dibandingkan saat melajang.

Agar perjalanan pernikahan berjalan mulus, ajukan 7 pertanyaan ini pada diri Anda dan calon suami. Cobalah mendengarkan jawabannya, dan minta si dia mendengarkan jawaban Anda.

1. Apakah ingin cepat-cepat punya momongan atau tidak?
Anda perlu mendiskusikan hal ini sebelum membuat keputusan melangkah ke pelaminan. Tujuannya untuk menyamakan pemikiran dan keinginan Anda berdua setelah menikah kelak. Jika salah satu dari kalian tidak setuju, hati-hati ini bisa jadi masalah di kemudian hari.

2. Apakah Anda berdua punya rasa humor?
Apakah Anda dan pasangan punya kemampuan untuk bisa tertawa dan saling menghibur? Bisa menertawakan kesulitan atau menemukan humor ketika menghadapi masalah sehari-hari, bisa menjadi indikasi kekuatan perkawinan Anda. Kemampuan ini bisa menciptakan hubungan pernikahan lebih baik. Jadi, jangan menjadikan semua hal serius.

3. Apakah Anda percaya padanya?
Jika hati belum benar-benar percaya dengannya sekarang (sebelum menikah), lalu bagaimana Anda akan mempercayai dia kelak? Jadi, hal ini harus benar-benar Anda pecahkan dulu sebelum menikah.

4. Apakah si dia mendukung impian Anda?
Jika si dia menganggap keinginan Anda, misalnya menjadi fotografer, itu sebagai sesuatu yang lucu atau mustahil, sebaiknya kenali dia lebih dalam. Jika pasangan tidak bisa mendukung impian Anda, kondisi ini bisa 'cikal bakal' masalah di kemudian hari. Pastikan calon suami Anda bisa impian Anda.

5. Apakah Anda berdua bisa saling kompromi?
Tentu, Anda tidak akan setuju pada segala sesuatu. Anda berdua adalah dua individu, orang yang punya pribadi unik. Jadi, Anda akan memiliki beberapa perbedaan yang mungkin sulit dipertemukan. Tenang, itu normal saja. Tidak apa-apa, selama Anda dan pasangan mampu saling berbagi dalam kompromi.

6. Apakah Anda merasa bahagia saat bersamanya?
Sebelum Anda bertukar cincin, Anda berdua harus bahagia. Khususnya Anda, karena Anda tidak bisa menuntut orang lain untuk membuat Anda bahagia.

7. Bagaimana Anda dan berdua mengelola keuangan?
Apakah dia pemboros dan Anda orang yang pandai menghemat uang, atau sebaliknya? Yang penting, Anda berdua memiliki harapan dan tujuan mengelola keuangan yang sama.

Selasa, 19 Oktober 2010

MEMAKNAI KEMBALI ARSIP SEBAGAI SUMBER INFORMASI

MEMAKNAI KEMBALI  ARSIP
SEBAGAI SUMBER INFORMASI
 Waluyo
 
Persoalan mendasar yang dihadapi para pengelola kearsipan sebenarnya  bukan terletak pada sulitnya menerapkan suatu sitem kearsipan, tetapi lebih pada bagaimana meyakinkan orang untuk mau menerapkan sistem kearsipan
 
A. Pengantar
Dewasa ini, informasi menjadi kebutuhan mutlak bagi setiap organisasi, baik organisasi pemerintah maupun swasta. Keseluruhan kegiatan organisasi pada dasarnya membutuhkan informasi.  Oleh karena itu, informasi menjadi bagian yang sangat penting  untuk mendukung proses kerja  administrasi  dan pelaksanaan fungsi-fungsi  manajemen dari birokrasi didalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dengan cepat.
Salah satu sumber informasi penting yang dapat menunjang proses kegiatan administrasi maupun birokrasi adalah arsip (record).[1] Sebagai rekaman informasi dari seluruh aktivitas organisasi, arsip berfungsi sebagai pusat ingatan, alat bantu pengambilan keputusan, bukti eksistensi organisasi dan untuk kepentingan organisai  yang lain. Berdasarkan fungsi arsip yang sangat penting tersebut maka  harus ada menajeman atau pengelolaan arsip  yang baik sejak penciptaan  sampai dengan penyusutan.
Pengelolaan arsip secara baik yang dapat menunjung kegiatan administrasi agar lebih lancar seringkali diabaikan dengan berbagai macam alasan. Berbagai kendala seperti kurangnya tenaga arsiparis maupun terbatasnya sarana dan prasarana selalu menjadi alasan buruknya pengelolaan arsip di hampir sebagian besar instansi pemerintah maupun swasta. Kondisi semacam itu diperparah dengan image yang selalu menempatkan bidang kearsipan sebagai “bidang pinggiran” diantara aktivitas-aktivitas kerja lainnya.
Realitas tersebut dapat dilihat dalam berbagai kesempatan  diskusi dan seminar bidang kearsipan yang senantiasa muncul keluhan dan persoalan klasik seputar tidak diperhatikannya bidang kearsipan suatu instansi atau organisasi, pimpinan yang memandang sebelah mata tetapi selalu ingin pelayanan cepat dan tentu saja persoalan tidak sebandingnya insentif yang diperoleh pengelola kearsipan dengan beban kerja yang ditanggungnya.
Problema-problema tersebut tentu sangat memprihatinkan, karena muaranya adalah pada citra yang tidak baik pada bidang kearsipan. Padahal bidang inilah yang paling vital dalam kerangka kerja suatu administrasi. Tertib administrasi yang diharapkan hanya akan menjadi “omong kosong” apabila tidak dimulai dari tertib kearsipannya.
Dipandang dari nilai pentingnya arsip, semua orang akan mengatakan penting atau sangat penting bahkan seorang pakar kearsipan mengungkapkan bahwa dunia tanpa arsip adalah dunia tanpa memori, tanpa kepastian hukum, tanpa sejarah, tanpa kebudayaan dan tanpa ilmu pengetahuan, serta tanpa identitas kolektif.[2] Tetapi tidak dengan sendirinya arsip-arsip akan menjadi memori, kebudayaan, jaminan kepastian hukum, bahkan pembangun identitas kolektif suatu bangsa jika tidak diikuti dengan upaya pengelolaan arsip secara baik dan benar serta konsisten memandang dan menempatkan arsip sebagai informasi lebih dari sekedar by product kegiatan organisasi.
Arsip memang bukan hanya sekedar hasil samping dari kegiatan organisasi, arsip diterima dan diciptakan oleh organinasi dalam rangka pelaksanaan kegiatan dan disimpan sebagai bukti kebijakan dan aktivitasnya.[3] Sebagai salah satu sumber informasi arsip memiliki banyak fungsi yang signifikan untuk menunjang proses kegiatan administratif dan fungsi-fungsi manajemen birokrasi, disamping sebagai sumber primer bagi para peneliti/akademisi.
 
B. Pengertian Arsip
Menurut bahasa referensi, arsip atau records merupakan informasi yang direkam dalam bentuk atau medium apapun, dibuat, diterima, dan dipelihara oleh suatu organisasi/lembaga/badan/perorangan dalam rangka pelaksanaan kegiatan.[4] Pengertian tersebut tampaknya tidak jauh berbeda dengan yang termaktub dalam UU No. 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan.[5]
Secara etimologi arsip berasal dari  bahasa Yunani Kuno Archeon, Arche yang dapat bermakna permulaan, asal, tempat utama, kekuasaan dan juga berarti bangunan/kantor. Perkembangan selanjutnya kita mengenal archaios yang berarti kuno, archaic, architect, archaeology, archive dan arsip. Pengertian-pengertian tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan betapa sebenarnya bidang kearsipan itu sudah cukup akrab di indera dengar kita, disamping juga sudah cukup tua umur kemunculannya.
Lebih dari sekedar diskusi tentang istilah arsip, sebenarnya secara akademis kita juga akan lebih jauh melihat eksistensi kearsipan sebagai ilmu pengetahuan. Bila ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan yang tersusun dan pengetahuan adalah pengamatan yang disusun secara sistematis, maka kearsipan tentu dapat dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan, kearsipan  memenuhi syarat-syarat universalism, organized, disinterestedness dan communalism. Semua itu  dikemukakan sebagai justifikasi terhadap  eksistensi kearsipan.
Lebih jauh lagi kita dapat melacak kedudukan kearsipan dalam kerangka ilmu informasi.  Dalam ilmu informasi kita mengenal dokumentasi yang didalamnya meliputi dokumen dalam wujud korporil (museum), dokumen dalam wujud literair (perpustakaan), dan dokumen privat (kearsipan).
Secara umum kita dapat mengidentifikasi dokumen dalam wujud korporil sebagai benda-benda artefak dan koleksi-koleksi antik dan karya  yang memiliki nilai historis dan archaic, khasanah  tersebut dikelola oleh museum.
Dokumen literair yang meliputi bidang perpustakaan disebut juga sebagai dokumentasi publik (dokumentasi yang terbuka untuk umum) yang dibedakan dengan dokumentasi privat (arsip). Dalam kaitan ini secara lebih rinci  kita dapat mengidentifikasi perbedaan  arsip dengan perpustakaan sebagai berikut:
1.                           Fungsi perpustakaan adalah menyimpan dan menyediakan koleksi buku dan bahan tercetak, sedangkan fungsi utama arsip adalah memelihara akumulasi dari bukti aktivitas / kegiatan suatu organisasi atau perorangan sebagai organic entity.
2.                           Pustakawan berhubungan dengan koleksi atau bahan pustaka dalam wujud berbagai kopi buku dari suatu terbitan yang sangat mungkin terdapat pada perpustakaan lain. Sedangkan arsiparis atau petugas kearsipan berhubungan dengan khasanah rekaman informasi berupa tulisan atau manuskrip yang unik dan tidak ada ditempat lain.
3.                           Arsip tercipta sebagai akibat dari aktivitas fungsional suatu organisasi atau personal, arsip seringkali terdapat keterkaitan informasi dengan arsip yang lain sebagai satu unit informasi atau kelompok berkas. Sedangkan bahan pustaka merupakan materi diskrit, dimana antara satu buku dengan buku lain tidak saling bergantung.
4.                           Bahan pustaka yang hilang dapat diganti dalam bentuk asli atau tersedia diperpustakaan lain, sedangkan arsip yang hilang tidak mungkin dapat digantikan keotentikannya dan tidak mungkin diperoleh dari tempat lain.
5.                           Pustakawan berinteraksi dengan buku-buku sebagai satuan individu yang masing-masing memiliki identitas tersendiri, sedangkan petugas kearsipan tidak umum memperlakukan arsip secara individu karena berkas arsip  adalah kesatuan informasi.
            Persamaan mendasar dari arsip dan bahan pustaka adalah bahwa keduanya membutuhkan pemeliharaan dan pelestarian. Di negara-negara maju lembaga kearsipan dan perpustakan secara umum tidak dipisahkan, ini terutama dapat dilihat pada organisasi-organisasi kearsipan dan perpustakaan di perguruan tinggi.
 
C. Tipologi Arsip
            Tipologi arsip bisanya dikaitkan dengan media penyimpan informasi arsip. Bentuk media arsip dapat berupa kertas, film, suara maupun elektronik. Secara rinci pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Arsip berbasis kertas (paper records) yaitu arsip-arsip berupa teks yang ditulis di atas kertas. Bentuk arsip bermedia kertas ini juga lazim disebut sebagai arsip yang bersifat konvensional.
b.       Arsip pandang-dengar (audio-visual records) merupakan arsip yang dapat dilihat dan didengar. Arsip pandang dengar dapat dirinci dalam 3 kategori:
1.      Arsip gambar statik (static image), contohnya  foto.
2.      Arsip citra bergerak (moving image), film, video, dsb.
3.      Arsip rekaman suara (sound recording), kaset.  
c.       Arsip elektronik, merupakan arsip-arsip yang disimpan dan diolah di dalam suatu format, dimana hanya komputer yang dapat memprosesnya maka sering dikatakan sebagai machine-readable-records.Contohnya floppy disk, hard disk, pita magnetik, optical disk, cd rom, dsb.
Perlu juga dikemukakan di sini bahwa berdasarkan keunikan media perekam informasi arsip beberapa literatur kearsipan menyebut adanya  special format records atau arsip bentuk khusus. Contoh dari jenis arsip tersebut adalah arsip kartografi dan kearsitekturan, meskipun kedua corak arsip tersebut berbasis kertas, tetapi karena bentuknya yang unik dan khas, maka arsip-arsip tersebut merupakan arsip bentuk khusus yang dapat dibedakan dengan arsip tekstual lainya.
 
D.    Arsip sebagai Sumber Informasi
            Mengelola arsip tidak semata-mata memperlakukannya dari sudut teknis pengelolaan media rekamnya belaka, melainkan dari sisi peranan arsip sebagai sumber informasi.  Dari sudut pandang ini maka nilai arsip akan mulai tampak berdaya guna, oleh karena diperlukan sebagai informasi.
            Di dunia yang semakin kompleks ini, kegiatan apapun tidak lagi mengandalkan ingatan pelaksana atau pelakunya. Apa yang harus dilakukan adalah mengelola informasi melalui pengelolaan arsipnya. Benar kata pepatah bahwa memory can fail, but what is recorded will remain..[6]
            Beberapa alasan mengapa manusia merekam informasi; alasan pribadi, alasan sosial, alasan ekonomi, alasan hukum, alasan instrumental, alasan simbolis, dan alasan ilmu pengetahuan.[7]
            Lebih dari alasan-alasan di atas, dalam konteks organisasi atau korporasi saat ini perlu di garis bawahi  bahwa organisasi modern adalah organisasi yang bertumpu pada informasi (a modern organization is an information based organization). Arsip sebagai recorded information jelas menempati posisi vital dalam organisasi modern tersebut. Arsip akan dibutuhkan dalam seluruh proses kegiatan manajemen organisasi, dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
           
E.     Arsip dan Administrasi
            Hubungan arsip dengan administrasi merupakan hubungan dua sisi sebuah mata uang atau hubungan antara suatu benda dengan bayangannya. Arsip sebagai bagian dari proses administrasi hanya ada apabila administrasi itu berjalan.
a.  Proses
-         Arsip tercipta sebagai endapan informasi terekam dari pelaksanaan kegiatan administrasi suatu instansi/korporasi.
-         Arsip merupakan substansi informasi yang melekat pada fungsi, sehingga setiap pengaturan arsip harus mempertimbangkan:
o       Agar informasi yang terdapat dalam arsip bisa digunakan untuk kepentingan operasional intansi/korporasi secara fungsional
o       Agar informasi dalam arsip dapat dikelompokkan dalam unit-unit informasi secara spesifik agar dapat diberikan secara tepat informasi, tepat waktu, tepat orang, dan tepat guna, serta dalam waktu yang secepat mungkin.
 
b. Fungsi Arsip
Menurut UU No.7 tahun 1971, fungsinya arsip dibedakan atas dua yaitu arsip dinamis dan arsip statis. Dalam literatur-literatur kearsipan (USA) kita mengenal pembedaan fungsi arsip atas records dan archives. Arsip dinamis adalah arsip yang masih secara langsung digunakan dalam kegiatan-kegiatan atau aktivitas organisasi, baik sejak perencanaan, pelaksanaan dan juga evaluasi. Atau dalam bahasa perundang-undangan kearsipan disebut sebagai arsip yang dipergunakan secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, penyelenggaraan kehidupan kebangsaan pada umumnya atau dipergunakan secara langsung dalam penyelenggaraan administrasi negara.
Arsip statis adalah arsip yang tidak dipergunakan lagi di dalam fungsi-fungsi manajemen, tetapi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Arsip statis merupakan arsip yang memiliki nilai guna berkelanjutan (continuing value).
Arsip dinamis berdasarkan kepentingan penggunaannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu arsip dinamis aktif dan dinamis inaktif. Arsip dinamis aktif berarti arsip yang secara langsung dan terus-menerus diperlukan dan dipergunakan di dalam   penyelenggaraan administrasi. Sedangkan arsip dinamis inaktif merupakan arsip-arsip yang frekuensi penggunaannya untuk penyelenggaraan administrasi sudah menurun.
 Frekuensi penggunaan yang menurun sering menjadi problematika tersendiri di Indonesia apalagi bagi instansi yang tidak memiliki JRA (Jadwal Retensi Arsip), artinya bahwa semua tergantung bagaimana suatu instansi menilai bahwa suatu arsip sudah dikatakan menurun frekuensi penggunaannya, hal ini tentu saja harus didasarkan pada kebutuhan organisasi.. Sekedar sebagai gambaran, seorang ahli kearsipan menyebutkan bahwa arsip dapat dipertimbangkan menjadi inaktif apabila penggunaannya kurang dari 10 kali dalam satu tahun.[8] 
Bertitik tolak dari fungsi dan kegunaan arsip, maka arsip sebagai salah satu sumber informasi harus dikelola dalam suatu sistem/manajemen, sehingga informasi arsip memungkinkan untuk disajikan  secara tepat, kepada orang yang tepat pada waktu yang tepat dengan biaya yang serendah mungkin. Dengan demikian informasi yang terekam tersebut dapat digunakan di dalam menunjang proses pengambilan keputusan, perencanaan, pengorganisasian, pengawasan serta dapat dijadikan referensi sebagai input yang sangat signifikan bagi proses manajemen, baik bisnis maupun pemerintahan.
 
c. Kegunaan Arsip
            Kegunaan arsip secara umum terbagi atas dua, yaitu kegunaan bagi instansi pencipta arsip, dan kegunaan bagi kehidupan kebangsaan.
Bagi Instansi Pencipta, kegunaan arsip antara lain meliputi:
-         endapan informasi pelaksanaan kegiatan sebagai wujud dari memori kolektif instansi
-         pendukung kesiapan informasi bagi pembuat keputusan
-         sarana peningkatan efisiensi operasional instansi
-         memenuhi ketentuan hukum yang berlaku
-         bukti eksistensi instansi
Bagi Kehidupan kebangsaan, kegunaan arsip antara lain meliputi:
-         bukti pertanggungjawaban/akuntabilitas nasional
-         rekaman budaya nasional sebagai memori kolektif dan prestasi intelektual bangsa
-         bukti sejarah
 
F. Penutup
Uraian di atas merupakan pokok-pokok dalam bidang kearsipan yang minimal perlu diketahui dan dipahami oleh semua elemen yang concern terhadap bidang ini, terutama para pelaku atau pengelola kearsipan. Gambaran umum di atas menjadi titik tolak yang harus dijabarkan pada tataran yang lebih detail dan dasar yang harus dikembangkan pada tingkat implementasi.
            Dengan penguasaan dasar kearsipan, perkembangan bidang ilmu informasi lain tidak akan meredusir peran kearsipan bahkan seharusnya justru menunjang pengembangannya, seperti misalnya perkembangan teknologi informasi.
            Perkembangan teknologi informasi merupakan hal yang tidak dapat dielakkan. Imbas dari perkembangan tersebut menyeruak kesegala bidang termasuk kearsipan. Sebagai pengelola bidang kearsipan tentu kita harus merespon secara positif perkembangan tersebut. Hal itu akan sangat menguatkan eksistensi kita sebagai pengelola kearsipan yang merupakan bagian dari pengelola informasi, sesuatu yang menjadi mainstream di abad ini.
Apabila selama ini peran pengelola kearsipan dalam suatu organisasi dipandang relatif rendah maka dengan kemampuan mengadopsi perkembangan teknologi informasi tersebut  akan merubah image yang selama ini melekat pada diri pengelola bidang kearsipan .
 
Daftar Pustaka
Arsip dan Sejarah, Jakarta: ANRI, 1980.

Kennedy, Jay and Cherryl Schauder, Records Management, A Guide to Corporate Record Keeping Melbourne: Longman, 1998.
 
Mykland, Liv Protection and identity: The Archivist’s Identity and Professionalism, Montreal:ICA, XIIth, 1992.
 
Penn, Ira A, Gail Pennix, Anne Morddel and Kelvin Smith, Records Management Handbook, Vermont: Ashgate Publish, 1992.
 
Ricks, Betty, et.al., Information and Image Management: a Records System Approach, South Western Publishing Co., Cincinnati, 1992
 
Robek, Mary, Gerald Brown and Wilmer O. Maedke, Information and Record Management, Los Angeles: California State University, 1987.
 
Sulistyo-Basuki, Manajemen Arsip Dinamis, Pengantar Memahami dan mengelola Informasi dan Dokumen, Jakarta: Gramedia, 2003.
 
Wallace, Patricia E., et.al., Records Management Intregated  Information Systems, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1992
 
Walne, Peter, eds, Dictionary of Archival Terminology, Munchen: KG. Saur, 1988.
 


 
[1]Pengertian arsip yang lebih menekankan pada fungsi informasi dapat dilihat dari pendapat Jay
 
Kennedy dan Cherryl Schaudder yang mengemukakan bahwa arsip merupakan informasi yang direkam   
dalam  bentuk atau medium apapun, dibuat, diterima, dan dipelihara oleh suatu organisasi/lembaga/badan/  
perorangan dalam rangka pelaksanaan kegiatan. Lihat: Jay Kennedy and Cherryl Schauder, Records management:
A Guide to Corporate Record Keeping (Melbourne:  Longman, 1998), hlm. 1. Sedangkan definisi yang lebih
menekankan pada penyimpanan dan pentingnya lembaga arsip dapat dilihat pendapat dari: T.R.
Schellenberg, Modern Archives: Principles and  Techniques (Chicago: The University of Chicago Press, 1975), hlm.
17.
 
 
[2]Liv Mykland, Protection and identity: The Archivist’s Identity and Professionalism (Montreal:ICA, XIIth, 1992), hal.2.


 [3]Jay Kennedy and Cherryl Schauder, Records Management, A Guide to Corporate Record Keeping (Melbourne:
 
Longman, 1998), hal. 1.


[4]Peter Walne (ed), Dictionary of Archival Terminology (Munchen: KG. Saur, 1988), hal. 128.


 [5]Pasal 1 menyebutkan arsip ialah:
 
a.        naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga-lembaga Negara dan Badan-badan Pemerintahan dalam bentuk dan corak apapun baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah.
b.       Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Badan-badan swasta dan/atau perorangan, dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kehidupan kebangsaan.


[6]Arsip dan Sejarah (Jakarta: ANRI, 1980), hal. 12.
 
 
[7]Sulistyo-Basuki, Manajemen Arsip Dinamis, Pengantar Memahami dan mengelola Informasi dan Dokumen (Jakarta:
 
 Gramedia, 2003), hal.4-6.


 [8]Betty Ricks, et.al., Information and Image Management: a Records System Approach (Cincinnati: South Western
 
Publishing Co., 1992), hal.16.

Sejarah Berdirinya Perpustakaan Sekolah

Sejarah Berdirinya Sekolah Perpustakaan

Praktek mengelola perpustakaan sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Hanya saja system pengelolaannya berubah dari tahun ketahun. Pada tahun-tahun sebelum 1887, tempat ibadah, kerajaan mengelola perpustakaan hanya sekedar menata bahan-bahan pustaka yang ada sehingga hanya memerlukan 1 orang pegawai tanpa perlu keahlian khusus karena informasi terekam masih sangat terbatas.

Pada perkembangan selanjutnya, informasi terekam berkembang sedemikian pesatnya sehingga perpustakaan tak bisa dikelola oleh satu orang saja dan beberapa keahlian khusus dalam mengumpulkan, mengelola dan menyebarkan bahan pustaka sangat diperlukan. Pada tahun 1887, seorang praktisi perpustakaan bernama Melvyl Dewey membuka sekolah formal perpustakaan untuk pertama kalinya di Columbia College. Walaupun Kurikulumnya masih berdasarkan "Trial and Error" dan hanya mengajarkan Dewey Decimal Classification, cataloguing, classification, references and bibliography, book selection and administration tetapi lulusannya menyebar ke seluruh Amerika Serikat dan sebagian besar dari mereka mendirikan sekolah perpustakaan di daerah masing-masing. Lama sekolahnya berkisar 3 bulan sampai 1 tahun ( Miksa, 1986).

Pada masa ini muncullah tokoh-tokoh yang sangat perhatian terhadap Ilmu perpustakaan dengan memberikan kritik-kritik demi kemajuan sekolah-sekolah pertemuan tersebut, diantaranya adalah Azariah Root dan Aksel Josephson yang mengusulan untuk pendirian sekolah perpustakaan di tingkat pasca sarjana. Tokoh yang paling berpengaruh waktu itu adalah Charles C. Williamson. Williamson ( Shera, 1972) mengatakan bahwa secara kwantitatif, sekolah perpustakaan sudahlah cukup tetapi secara kwalitatif sekolah perpustakaan sangat perlu diperbaharui. Semboyannya waktu itu adalah "no more library schools, but better library schools". Beliau mengajukan 8 hal yang berkaitan dengan Sekolah perpustakaan yaitu:

a. Mahasiswa yang akan masuk ke sekolah perpustakaan harus mempunyai ijazah sarjana
b. Sekolah perpustakaan harus berafiliasi pada departemen terntentu di sebuah perguruan tinggi
c. Memperkaya kurikulumnya dengan mata kuliah yang ada di universitas induknya
d. Menyediakan mata kuliah-matakuliah umum pada tahun pertama dan mata kuliah-mata kuliah khusus pada tahun kedua
e. Menyediakan teks dan materi kuliah yang cukup
f. Membuat program yang sesuai untuk "continuing education" guna memperbaharui ilmu mahasiswanya
g. Mengadakan sertivikasi untuk pustakawan professional
h. Harus ada standard akreditasi.

Hal-hal yang diajukan oleh Willliamson inilah yang menjadi cikal bakal pendirian jurusan Ilmu-ilmu perpustakaan yang ada di Amrika Utara (Davis, 1987). Kata "Contuining Education" itu sendiri menurut saya bisa diterjemahkan sebagai kewajiban dari program pendidikan perpustakaan untuk selalu aktif menjawab tantangan zaman termasuk perkembangan teknologi dan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum.

Isu-Isu Dalam Dunia Pendidikan Ilmu Perpustakaan.
Perpustakaan sering dianggap sebagai ilmu yang tidak mempunyai dasar epistimologi dan akar keilmuan sehingga sering dijadikan alasan untuk mementahkan keabsahan perpustakaan sebagai sebuah ilmu. Sebenarnya perpustakaan adalah justru sebuah ilmu yang universal dan multidisipliner sehingga bisa bersimbiosis dengan ilmu apa saja sebagaimana ilmu computer. Justru karena keuniversalannya ini ilmu perpustakaan bisa dijadikan pengembangan ilmu-ilmu yang sudah terlebih dahulu ada tanpa harus kehilangan ilmu intinya seperti pengembangan, pengelolaan, pelayanan, penemuan kembali dan penyebaran informasi. Pada perkembangan selanjutnya, untuk mengikuti pasar di dunia kerja, jurusan ilmu perpustakaan menggabungkan mata kuliah –mata kuliah yang ada dengan ilmu informasi dengan merubah namanya diantaranya menjadi School Of Information Studies dan School Of Information Science dengan konsentrasi diantaranya bidang Library Science, Archives dan Museum

Di Amerika Serikat, Pendidikan Ilmu perpustakaan ada di tingkat S2 dan S3. Sementra di Kanada, pendidikan Ilmu Perpustakaan dibuka untuk college, S2 dan S3, Di Australia dan Eropa juga ditawarkan untuk tingkat S2 dan S3. Sedang di Indonesia, Jurusan Ilmu Perpustakaan tersebar mulai dari tingkat D3, S1, S2 dan Rencananya akan membuka S3 juga.

Tentang Kurikulum

Kurikulum jurusan Ilmu perpustakaan di Amerika Utara mempunyai standar akreditasi kurikulum yang jelas yaitu American Library Association, Eropa menganut Commonwealth Librarian sedangkan Indonesia belum mempunyai standard baku tentang kurikulum inti jurusan Ilmu perpustakaan. Jadi, sampai sekarang ini, kurikulum pendidikan perpustakaan di Indonesia masih mengacu kurikulum jurusan dimana jurusan itu bernaung yang kemudian diakreditasi oleh Departemen Pendidikan Nasional tetapi secara jelas dapat disimpulkan bahwa D3 bertujuan mencetak teknisi dibidang perpustakaan, S1 mencetak manajer tingkat menengah dan S2 mencetak Top manajer dan juga tenaga pengajar di bidang perpustakaan.

Untuk kurikulum, ada hal-hal yang mendasar yang perlu diperhatikan. Pertama, Perpustakaan akan selalu berhubungan dengan teknologi. Sedangkan teknologi adalah sesuatu yang cepat basi. Untuk itu Jurusan Ilmu perpustakaan perlu menrapkan kurikulum yang Up to date sekaligus membekali mahasiswa dengan kemampuan untuk selalu bisa beradaptasi dengan cepat terhadap teknologi-teknologi baru.

Kedua, paradigma baru di dunia perpustakaan adalah bukan lagi terfokus pada pengolahan bahan pustaka saja tetapi lebih ke pelayanan masyarakat. Oleh karena kurikulum jurusan Ilmu perpustakaan juga harus membekali mahasiswa dengan cara-cara berinteraksi dengan masyarakat dan budaya agar mereka bisa berinteraksi dengan masyarakat sehingga informasi bisa di akses secara maksimal.

Kedua paradigma ini kalau diterapkan dengan perkembangan teknologi saat ini akan bertemu didalam sbuah konsep yang disebut Web 2.0.

Web 2.0 encompasses a variety of different meanings that include an increased emphasis on user generated content, data and content sharing and collaborative effort, together with the use of various kind of social software, new ways of interacting with web-based applications, and the use of the web as platform for generating, re-purposing and consuming content. (Franklin and van Harmelen, 2007, 4)

Dalam rangka menjawab berkembangnya Web 2.0, David Bawden and Lyn Robinson et al (2007) mengatakan bahwa Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi di seluruh dunia menyadari pentingnya memasukkan Web 2.0 kedalam kurikulum baik dalam bentuk Content maupun penggunaan Web 2.0 dalam bentuk sebagai media belajar mengajar setidak-tidaknya sebagai bentuk "kepedulian" program pendidikan perpustakaan dan informasi terhadap perkembangan informasi dan sebagai bentuk sosialisasi.

Di University College Dublin School of Information and Library Studies, ada 3 aspek yang memasukkan konsep Web 2.0. Dua diantaranya diajarkan pada mahasiswa pada level 3 (tahun ke 3 dan juga diambil oleh sejumlah mahasiswa pasca sarjana), yaitu IS30010; "Weaving the Web: The internet and Society yang mengajarkan mahasiswa untuk memahami perkembangan dan perubahan internet ke web. Mata kuliah ini lebih mengkonsentrasikan mahasiswa pada aspek perubahan teknologi yang memungkinkan terjadinya interkoneksi yang lebih besar. Sedangkan matakuliah Cybersiety Technology, Culture and Communication lebih menekannkan pada efek social pada komunitas online dan penggunaannya sebagai teknologi social.

Pada level 4, mata kuliah Information Society lebih menekankan Web 2.0 sebagai dari perspektif perpustakaan dan kajian informasi. Isu-isu utamanya meliputi jenis-jenis komunikasi, Social networking, media sharing dan Social tagging dan folksonomi. Penekanannya lebih pada aspek yang berkaitan dengan imbas penciptaan dan komunikasi informasi terrekam dan yang berhubungan dengan ruang lingkup kerja perpustakaan dan informasi seperti: komunikasi media mempengaruhi rantai publikasi dan perlu diajarkan dalam mata kuliah Perpustakaan dan Publikasi, Social Tagging dan Folksonomy bias dimasukkan dalam Organisasi Informasi, Wiki bisa dimasukkan dalam matakuliah yang membahas digital literacy dan unsur-unsur filosofis dan social bisa dimasukkan dalam mata kuliah yang berhubungan dengan dasar-dasar ilmu perpustakaan.

Bagaimana dengan Program Pendidikan Perpustakaan di Indonesia?

MacLuhan dalam bukunya Understanding Media –The Extension of Man (1965) mengatakan bahwa dunia ini sudah menjadi kampung raksasa (global Village) tanpa dibatasi oleh sekat apapun berkat kemajuan di bidang teknologi Informasi. Maka masyarakat Indonesia yang sudah mengenal internet, tanpa disadari sudah menggunakan prinsip-prinsip web 2.0 dalam bersosialisasi sekaligus berbagi informasi. Maraknya penggunaan blog, facebook, twitter dan semacamnya di Indonesia sebagai bukti penggunaan web 2.0 dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan semacam ini harus direspon baik oleh perpustakaan maupun oleh program pendidikan perpustakaan dengan cara seperti yang sudah dilakukan di program pendidikan perpustakaan dan kajian informasi di Dublin, London, Ljubljana, Sydney and Vilnius yaitu dengan menerapkannya dalam bentuk lingkungan yang berbasis e-learning (Bawden et al, 2007, 23-24), yaitu dengan cara Penggantian diskusi konvensional dengan penggunaan blog, penggantian "attached files" dengan Wiki, penggunaan postcating dan videocasting untuk perkuliahan atau sebagai tambahan dari keterangan yang biasanya berbentuk teks serta penggunaan Deli.c.ious sebagai cara untuk berbagi sumber-sumber pembelajaran. Praktek-praktek pengajaran seperti itu akan memotivasi mahasiswa untuk menggunakan konsep web 2.0 didalam ruang lingkup kerjanya secara positip dan produktif sekaligus untuk mempelajari pengembangan teknologi Web 2.0 itu sendiri.

Daftar Pustaka
David Bawden et al. (2007) Introducing Web 2.0 Concepts into the library/information curriculum

Davis, Donald G. (1987). The History of Library School Internationalization. in John F Harvey and Frances Laverne Carroll (Eds.), Internationalizing Library and

Information Science Education: A Handbook of Policies and Procedures in Administration and Curriculum. Westport, Connecticut: Greenwood Press.

Franklin, T and van Harmelen, M. (2007) Web 2.0 for content for learning and teaching in Higher Education. URL http://www.jisc.ac.uk/media/documents/programes/digitalrepositories/web2-content-learning-and-teaching.pdf (accessed 04.11.09)

Miksa. Francis L "Melvil Dewey: The professional educator and his heirs." Library Trends. Vol. 34 (3). Winter 1986.p.359.

Reece. Ernest J. The Curriculum in Library Schools. New York: Columbia University Press. 1936. p.13.

Shera, J.H. The Foundations of Education for Librarianship. New York: Becker & Hayes, 1972.

Zain, Labibah. Rancangan Disertasi "Comparing Curriculum Design to Practitioners’ Needs: A Study of Indonesian Library Education Programs", McGill University 2008

Selasa, 05 Oktober 2010